Kamis, 29 Oktober 2009

Sabar

Mencermati kembali dalil – dalil bulan ini, memori saya terantuk dengan sebuah kalimat yang nandes. Kalimat yang terkait erat dengan pengertian sabar dan istirja. Insya Allah sering didengar, sering dinasehatkan. Begini kira – kiranya bunyi kalimat itu,”Kalau terkena mushibah harus sabar dengan cara istirja. Nggak boleh marah – marah dulu baru kemudian istirja’. Itu namanya tidak sabar.” Kemudian seorang penasehat menegaskan, “Yang penting istirja’ dulu. Setelah istirja marah – marah silahkan.” Benarkah demikian pengertian dan praktek sabar dengan istirja’ ini?

Di Hadits Shohih Bukhory disebutkan sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,”Ash – shobru ‘inda shodmatil uulaa – Adapun sabar itu di sisi ketukan/kejadian yang pertama.” Dengan dasar inilah muncul nasehat seperti di atas. Ketika tertimpa mushibah yang pertama dilakukan adalah istirja. Ketika sudah mengucapkan istirja – Inna lillaahi …dst – maka sudah dikatakan sabar. Sebab kesabaran sudah muncul pada respon pertama terhadap kejadian. Jadi sabar itu gampang ketika kena mushibah terus istirja itu sudah kategori sabar. Singkat, cepat dan mudah, sehingga diembel – embeli; mau marah habis itu, mau diam membisu setelahnya, silahkan. Pengertian yang dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Saya masih ingat pertama kali mengkaji dalil di atas tahun 90-an yang disampaikan oleh Mas Parjono, mubaligh di Purwodadi dulu, ya seperti itu. Tetap, tidak berubah. Sampai kemudian ada sebuah pertanyaan yang menyadarkan saya untuk ‘meredefinisi’ lagi kalimat itu. Seorang teman yang bekerja dengan sesama mukmin, mengeluh,”Mas, Bos saya di kantor kok marah – marah terus, kalau kita melakukan kesalahan. Padahal kan sudah kita jelaskan kalau itu tidak disengaja. Mushibah. Dan sudah diingatkan untuk sabar.” Jawabnya selalu, “Saya sudah istirja, sekarang tinggal marahnya.” Masya Allah…! Kasihan.

Terus terang saya prihatin dengan situasi teman tersebut. Dan karenanya saya mawas diri - instrospeksi, mungkin ada yang salah dengan nasehat tentang kesabaran ini. Menurut saya, nasehat seperti di atas itu benar jika dimengerti dan dimaksudkan bahwa proses sabar itu dimulai dari pertama kali kejadian. Bukan berhenti pada kejadian awalnya saja. Sebab kesabaran adalah sebuah proses. Terus sampai kapan? Hadits inilah jawabnya. Dari Anas, dari Nabi SAW, bersabda, “Sesungguhnya besarnya balasan beserta besarnya cobaan. Dan sesungguhnya Allah ketika senang kepada suatu qaum, maka Allah mencoba mereka. Maka barangsiapa yang senang/ridho maka baginya ridho (dari Allah) dan barangsiapa yang murka maka baginya juga murka (dari Allah).” (Rowahu at-Tirmidzi Fii Kitabi az-Zuhdi)

Proses sabar itu terus berlanjut dari semenjak mengucap istrija pas pertama kali kejadian, sampai kita bisa sadar. Sadar kalau dengan mushibah itu Allah menunjukkan cintanya kepada kita. Dengan cobaan mushibah itu berarti Allah akan mengganti/membalas sesuatu yang lebih baik yang kita tidak tahu. Yang akhirnya bisa senang dengan apa – apa yang menimpa kita. Bisa memahami bahwa semua itu skenarioNya. Paham dengan kalimat istirja yang kita ucapkan pertama kali. Bahwa kita ini punya Allah dan semua ini akan kembali kepadaNya. Atau sebaliknya kita marah – marah dengan semua itu sehingga Allah pun murka karenanya.

Kenapa saya menyandarkan pada hadits ini? Jawabnya adalah agar tidak bertentangan dengan hadits yang menyatakan bahwa –Innamal a’malu bikhowatimiha – Sesungguhnya jadinya amal itu pada akhirnya. Jadi kalau kita sudah istirja pas kejadian yang pertama, habis istirja terus marah – marah, maka itu tidak dibenarkan. Berarti tidak ridho. Dan bisa dikatakan tidak sabar. Nah, agar tidakk bertentangan antara satu dengan yang lainnya, maka nasehat seperti yang di atas harus dikoreksi. Adapun koreksinya menjadi begini. Yang dikatakan sabar ketika mendapat mushibah itu, bisa istirja pas kejadian awal, kemudian menjaga sikap dan perilakunya menuju keridhoanNya, sampai betul – betul bisa memahami bahwa semua itu atas kehendak Allah dan semuanya akan kembali kepadanya. Jadi tidak ada marah – marah lagi di dalamnya. Habis istirja tidak boleh lagi marah – marah harus tetap sabar dan menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin, pikiran tenang dan hati yang bening. Tidak larut dalam kesedihan dan tidak mengumbar amarah badan.

Setelah saya jelaskan begini, si teman jadi bingung, katanya, “Tapi walaupun dia marah – marah terus, tapi kok malah tambah kaya ya?”

Sambil lau saya katakan, “Kalau itu dalilnya lain lagi. Kalau sampeyan pengin tahu kapan – kapan saja datang ke rumah, nanti saya jelaskan. Sekarang kita baru bicara masalah sabar Mas.”

“Ooo,,” gumamnya lirih.

Semoga semua ini menambah kepahamannya dan kepahaman kita semua. Amin.

oleh: Ust. Faizunal

(from : http://www.ldii.or.id/content/view/333/1/lang,id/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar